Pernahkah kau bertemu dengan pasangan jiwamu? Soulmate, begitu kata orang. Seseorang yang dengannya kau sanggup berbincang berjam-jam. Berbagi segalanya. Tanpa lelah. Tak pernah kehabisan topik. Tanpa jeda. Tanpa bosan. Seseorang yang selalu berpendapat sama denganmu. Sanggup menyelesaikan semua kalimat yang kau ucapkan. Bukan karena dia mengerti isi hatimu. Atau karena dia memahami dirimu. Tapi karena dia berpikiran sama persis denganmu. Dia merasakan hal yang sama. Seakan-akan kalian adalah satu jiwa yang terbagi dalam dua tubuh. Pernahkah? Aku pernah.
…….
Kegembiraan bertemu dengannya seketika berubah ketika dia memutuskan memilih yang lain. Dan kini, setelah sekian lama berpikir, akhirnya momen penyelesaian itu datang juga. Terbersit hasrat untuk pergi ke ujung sana. Entah kenapa. Dan semakin hari keinginan itu semakin kuat. Tak terbendung lagi. Setiap malam kugumamkan doa yang sama, seakan-akan telah mendarah daging dalam diriku.
Sejak hari itu aku mulai tawar menawar dengan Tuhan; Jika terjadi A, maka aku tidak akan pergi…Jika terjadi B, maka aku juga akan batal pergi…begitu seterusnya.
Jumat, 26 Juni
Inilah harinya. Do or do not.
Jika…jika…dan jika…
Stasiun Gambir, pkl. 16.30
Selembar tiket kereta api sudah kugenggam erat ditanganku. Untuk separuh perjalanan. Masih ada separuh lagi yang harus diperjuangkan. Nanti. Setelah bertemu dengannya. Hhhh…aku menghembuskan nafas panjang. Selama kereta belum berjalan, masih ada kesempatan untuk berbalik…dan kembali.
Kulihat sahabatku melambaikan tangan melepas kepergianku. Aku takut…Aku ingin menangis…Ingin rasanya berbalik dan berlari berbalik arah.Β Lalu ku berpikir; jika aku melihat ke belakang sekali lagi, pasti aku akan berbalik. Jadi kuputuskan untuk tidak menoleh lagi.
Sabtu, 27 Juni
Stasiun Gubeng Baru, pkl. 06.30
Dia berdiri disana. Matahariku. Aku tidak dapat melihat wajahnya karena posisinya berdiri tepat membelakangi matahari pagi. Yang mampu kulihat hanyalah sesosok bayangan hitam yang merentangkan tangan. Tidak mengapa…bukankah kita tidak perlu menatap matahari untuk mengetahui bahwa dia sedang tersenyum menyinari kita saat itu? Aku terus berjalan dan merentangkan tanganku juga.
Kemudian dia memelukku…erat sekali. Menghangatkan kebekuan yang tersimpan rapi selama sepuluh tahun…menghapus lelah dan kegelisahan setelah menempuh perjalanan 13 jam. Dan detik itu aku putuskan untuk hanya tertawa bersamanya. Tidak peduli apa yang terjadi. Tidak ingin kuungkit hal yang lain. Aku ingin tertawa. Hanya tertawa.
…….
Kami mulai berjalan. Menebus apa yang terlewatkan selama sepuluh tahun kemarin. Mencoba mengurai kembali jejak perjalanan yang telah lewat. Membawaku ke masa-masa dimana hanya bayangan dan tanyaku saja yang menemani. Membuatku memahami banyak hal…sampai tiba saatnya untuk pulang. Kembali pada realita dan dunia yang nyata. Hari ini akan terpatri meskipun tanpa foto atau memorabilia apapun. Aku sengaja tak ingin meninggalkan jejak selain didalam hati.
Didalam kompartemen…ingin kukecup kelopak matanya. Berharap dapat meredakan sedikit gejolak di hati, menebus semua luka yang telah kubuat. Tapi terlalu banyak orang berlalu lalang, jadi kuurungkan niatku. Namun perlahan dia mendekat…dan mencium lembut dahiku. Manis. Inilah penyelesaian semuanya.
Aku mengikutinya berjalan keluar. Mungkin dia tidak sadar saat kuperhatikan. Pandangannya tertuju kearah lain. Entah sedang memperhatikan apa. Kuamati wajahnya lekat-lekat…Aku tidak suka rambutnya yang gondrong…Menurutku cara berjalannya masih sama seperti yang kuingat dulu, langkahnya ringan seperti kucing…Hanya senyumnya yang berbeda. Sekarang sudah tergores garis kegetiran hidup disana. Biasanya aku akan langsung mengomentari semua itu, tapi mendadak semuanya menjadi tidak penting lagi.
Ah…kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok…atau dengan siapa kita akan berjodoh nantinya…Dan inilah yang mampu terucap dari bibirku:
“Despite whatever feelings I have for you…after all…at the end, you are my brother and I am your best friend. I don’t want you to start your new life with hesitation, doubt and uncertainty. My love is too big to let you do that.”
Aku tersenyum…
“No more crying.” bisikku lirih.
Dia tersenyum tipis dan menatapku.
…….
Dia melambaikan tangannya, tepat di sisi jendela kereta. Ikut berjalan seiring kereta yang mulai melaju perlahan. Dan terus berjalan di sisi jendela itu sampai tak mampu lagi menjajarinya. Nanar kutatap wajahnya…untuk kusimpan, lekat dalam ingatanku. Aku tak ingin lupa.
Entah kapan kita bisa bertemu lagi…
Kupalingkan wajahku ke arah jendela…diam…lalu tersenyum. Beberapa hal sebaiknya tetap menjadi misteri.
Banyak orang (termasuk diriku sendiri, pada awalnya) berpikir bahwa perjalananku kesana adalah untuk merebut hati seseorang dari tangan orang lain. Tapi ternyata tidak. Aku mengambil kembali hatiku yang kemarin kutitipkan padanya. Sekarang aku bebas!
…….
Beberapa tahun kemudian:
“Hai, gimana kalau kita ketemu di bandara aja?” Tanyanya.
“Oke. Pesawat jam berapa?” Sahutku. Setelah kupikir-pikir bandara adalah tempat yang paling sempurna untuk bertemu dengannya lagi karena itu tempat umum. Netral.
Dia menyebutkan jadwal penerbangannya yang secara kebetulan hampir bersamaan dengan penerbanganku.
“Check-in internasional dekat dengan ruang tunggumu…” Timpalnya lagi.
Setelah itu dia sibuk memberikan petunjuk arah dari ruang tunggu ke counter check-in. Lengkap. Rinci. Seperti kebiasaannya; sangat detail. Aku terus mendengarkan panduan suara itu sampai akhirnya aku melihatnya. Di bawah sana. Berdiri mengantri. Sedetik aku takjub akan kemampuanku untuk masih mengenalinya bahkan dari jarak yang sangat jauh.
Langkahku menuruni tangga terhenti sejenak. Bimbang melanda. Apakah baik jika aku mendekatinya? Atau sebaiknya pertemuan ini dibatalkan saja. Mumpung dia belum melihatku. Lagipula setelah bertahun-tahun berlalu, apa lagi yang bisa dibicarakan? Berbalik…tidak…berbalik…tidak…
Tepat di saat itu dia menoleh dan melambaikan tangannya. Dan secara otomatis seperti ada magnet yang menarikku mendekat. Whatever will be, will be!
“Hai!” sapaku kaku.
“Hai!” sahutnya tersenyum lebar.
Tak ada kata mampu terucap. Aku hanya berdiri tepat di sebelahnya. Menatap lurus ke arah antrian didepan kami yang cukup panjang.
Tiba-tiba dia memelukku. Erat sekali. Seperti dahulu. Tidak ada yang berubah. Dan aku tersenyum. Lebar sekali. “Hello there, my Mr. Goodbye!”
Rewritten, Bogor March 25th, 2018